Nikel mempunyai sifat tahan karat. Dalam keadaan murni, nikel bersifat lembek, tetapi jika dipadukan dengan besi, krom, dan logam lainnya, dapat membentuk baja tahan karat yang keras yang biasa dipakai untuk peralatan makan, ornamen gedung, maupun bahan konstruksi.
Ditinjau dari bentuk endapannya, nikel dibagi menjadi 2 yaitu nikel laterit dan nikel sulfida. Bijih nikel laterit merupakan salah satu sumber bahan logam nikel yang banyak terdapat di Indonesia, diperkirakan mencapai 11% cadangan nikel dunia. Nikel laterit merupakan sumber bahan tambang yang sangat penting, menyumbang terhadap 40% dari produksi nikel dunia. Endapan nikel laterite terbentuk dari hasil pelapukan yang dalam dari batuan induk dari jenis ultrabasa, berkaitan dengan mobilitas unsur – unsur penyusun source rocknya. Umumnya terbentuk pada iklim tropis sampai sub-tropis. Negara penghasil nikel laterit di dunia diantaranya New Caledonia, Kuba, Philippines, Indonesia, Columbia dan Australia.
|
Nikel laterit di Sulawesi dari link ini. |
Pada umumnya bijih nikel laterit terbentuk di bagian atas kompleks Ophiolit (komposisi lempeng samudera yang bersifat ultra mafic). Akibat adanya pengangkatan secara tektonik, batuan induknya menjadi memiliki relief permukaan, air tanah yang dalam dan memiliki sesar dan kekar serta fractures. Hal ini menyebabkan tersedianya media untuk aliran air yang berpengaruh pada intensitas pelapukan.
Batuan induk dari nikel laterit adalah ultrabasa dengan rata-rata kandungan Ni 0,2% yang terdapat pada kisi-kisi kristal olivin dan piroksen (“Vinogradov”). Proses awal yang dialami oleh batuan induk adalah proses serpentinisasi. Serpentinisasi akibat pengaruh larutan hydrothermal pada akhir pembekuan magma telah mengubah batuan ultrabasa menjadi serpentinnit atau peridotit terserpentinkan. Batuan ini sangat mudah terpengaruh oleh pelapukan lateritik.
Secara geologis, batuan ultra basa diketahui mengandung sejumlah kecil nikel yang terikat dengan silika. Oleh karena adanya proses pelapukan batuan, maka ikatan tersebut mudah terurai sehingga akan terjadi penghilangan silikat di satu sisi, dan terjadi pengkayaan nikel pada lapisan atau horison tertentu pada hasil pelakukan batuan tersebut.
Pengaruh iklim tropis mengakibatkan proses pelapukan yang intensif, sehingga beberapa daerah di Indonesia memiliki profil laterit (produk pelapukan) yang tebal. Bijih nikel laterit tersebut tersebar di kawasan bagian timur Indonesia. Persebaran ini tidak terlepas dari pengaruh tatanan tektonik. Tatanan geologi Indonesia dianggap unik dan rumit. Banyak ahli geologi yang berusaha menjelaskan fenomena tersebut, baik dengan menggunakan pendekatan teori tektonik klasik maupun tektonik global.
|
Sebaran ophiolites di Indonesia. |
Mewakili contoh pemikiran tektonik klasik, Van Bemmelen (1933) menggunakan Teori Undasi dalam menjelaskan keberadaan jalur-jalur magmatik yang menyebar secara ritmik menerus dari Sumatera ke Kalimantan barat dan Kalimantan. Berikutnya, Westerveld (1952) merekontruksikan jalur orogen di Indonesia dengan menggunakan pendekatan konsep geosinklin. Hasilnya adalah terpetakan lima jalur orogen dan satu komplek orogen yang ada di Indonesia.
Menurut pemikiran tektonik global, konfigurasi saat ini merupakan representasi dari hasil kerja pertemuan konvergen tiga lempeng sejak jaman Neogen, yaitu: lempeng samudera Indo-Australia, lempeng samudera Pasifik, dan lempeng benua Asia Tenggara. Tatanan tektonik Indonesia bagian barat menunjukkan pola yang relatif lebih sederhana dibanding Indonesia timur. Kesederhanaan tatanan tektonik tersebut dipengaruhi oleh keberadaan daratan Sunda yang relatif stabil. Sementara keberadaan lempeng benua mikro yang dinamis karena dipisahkan oleh banyak sistem sangat mempengaruhi bentuk kerumitan tektonik Indonesia bagian timur. Berdasarkan konsep ini pula di Indonesia terbentuk tujuh jalur orogen, yaitu jalur-jalur orogen: Sunda, Barisan, Talaud, Sulawesi, Banda, Melanisia dan Dayak.